Kesalahan Terbesar Ketika Kita Marah

by - April 18, 2021

[ Image credit: Mario Sanchez Nevado ]
 
Pada Juli 2018, saya melaksanakan tugas dari sekolah untuk magang di sebuah perusahaan. Demi menjaga nama baik sekolahan saya, saya selalu melakukan semua peraturan bagi anak magang yang diterapkan oleh perusahaan disana.
 
Saya selalu melaksanakan tugas apapun yang harus dikerjakan oleh anak magang. Apa yang sudah menjadi tugas saya sebagai anak magang, saya selalu berusaha melakukannya dengan baik dan sebisa mungkin menghindari kesalahan. Semua itu demi menjaga nama baik sekolahan saya.
 
Hampir dua bulan saya menjalani tugas magang. Sampai suatu ketika pada akhir bulan Agustus 2018, saya mendapatkan perlakuan buruk yang membuat saya harus merasakan rasa sakit di kepala saya akibat sebuah galon bervolume 19 liter yang tiba-tiba menghantam kepala saya dengan sangat keras yang dilemparkan dari atas, sementara saya tidak menyadari keberadaan galon tersebut.
 
Sambil menahan rasa sakit di kepala dan mengusap-usap kepala saya, saya menyempatkan untuk melihat ke atas untuk mengetahui siapa yang melakukan hal kejam itu pada saya. Setelah saya melihat siapa yang melakukannya, pelaku hanya melotot ke arah saya dan tak lama kemudian dia memasuki ruangan tanpa merasa bersalah sedikit pun.
 
Saya pun merasa bingung, apa salah saya sebenarnya. Saya selalu melakukan apa yang menjadi peraturan anak magang di perusahaan itu, dan tiba-tiba saja saya ditimpa perlakuan buruk yang tak manusiawi. Rasa sakit hati saya tidak membuat saya langsung mengadukannya pada pihak perusahaan, karena saya tahu bahwa itu hal yang percuma.
 
Semenjak kejadian itu, saya menjalani tugas magang saya yang tersisa empat bulan lagi dengan perasaan sedih bercampur kesal—ditambah dengan tempat tinggal saya yang kurang nyaman dan banyak faktor yang membuat saya tambah kesal.
 
Saya pikir, apa yang saya rasakan kala itu disebut dengan depresi.
 
Enam bulan pun berakhir dan saya berusaha melepaskan depresi saya dengan menikmati liburan tahun baru 2019. Tahun ajaran baru pun dimulai, semua siswa masuk sekolah seperti biasa dan saya pun bertemu dengan teman-teman sekolah saya. Saya menceritakan kejadian buruk itu ke beberapa teman saya, dan beberapa di antara mereka justru tertawa mendengar cerita saya.
 
What the fuck! Rasa sakit yang saya rasakan, yang membuat saya depresi selama berbulan-bulan, hanyalah sebuah komedi dan lelucon baginya. Tapi saya tidak terlalu peduli, karena saya tahu, itu hanya akan membuat saya merasa lebih buruk lagi jika saya memedulikannya.
 
Beberapa teman saya yang lain hanya bisa berspekulasi bahwa kemungkinan pelaku sedang merasa kesal/jengkel karena hal-hal yang ada di pikirannya. Tapi pertanyaannya adalah, jika yang dikatakan teman saya itu benar, apakah hal itu dapat membenarkan perlakuan buruknya terhadap saya?
 
Tentu saja jawabannya tidak, dan saya yakin apa yang dilakukan pelaku itu salah, buruk dan tidak benar. Dan jika itu terjadi tanpa kesengajaan, bukankah seharusnya kata “maaf” tidak terlalu berat untuk diucapkan oleh mulutnya? Tapi yah, bodo amat!
 
Perlu kita ketahui bahwa emosi negatif adalah bagian dari diri kita, itu tidak bisa dihilangkan, kita hanya bisa mengendalikannya dan sebisa mungkin untuk meminimalisasinya. Kita marah itu manusiawi. Kita kesal itu manusiawi. Tetapi yang tidak manusiawi itu, ketika kita melampiaskan kemarahan atau rasa kesal kita dengan cara menyakiti orang lain.
 
Ketika kita marah atau kesal, kita cenderung mengabaikan perasaan orang lain dan menuntut agar orang lain bisa memahami perasaan kita. Dan ketika kita tidak mampu mengendalikan kemarahan atau kekesalan kita, kita sering melampiaskan emosi kita dengan cara yang salah dan bisa saja merugikan orang lain.
 
Sebuah pepatah lama berkata bahwa “Jangan mengambil keputusan ketika sedang marah” karena kemarahan kita membuat pikiran kita tidak jernih, dan hanya mengedepankan emosi kita tanpa penggunaan nalar yang kuat. Kemungkinan besar, keputusan yang diambil saat kita marah adalah keputusan yang sangat buruk (termasuk keputusan untuk bertindak).
 
Sebuah pelajaran penting bagi kita untuk terus mengendalikan emosi negatif dan terus bertindak berdasarkan penalaran yang baik dan akal yang sehat. Bila kita bertindak tanpa nalar yang kuat, maka secara simpel, kita tidak berbeda dengan binatang, atau yang lebih buruk, menjadi monster.

2 Komentar

  1. bisa seperti itu ya... untung saat ibu bisa sabar ya gan.. semangat terus

    ReplyDelete